Otak manusia adalah mesin biologis paling kompleks yang pernah ada. Dengan miliaran neuron dan triliunan sinapsis yang bekerja secara paralel, otak memungkinkan kita untuk berpikir, belajar, dan beradaptasi dengan lingkungan. Kemampuan ini telah menginspirasi para ilmuwan dalam mengembangkan kecerdasan buatan (AI), sebuah teknologi yang mencoba meniru cara kerja otak dalam mengenali pola, membuat keputusan, dan bahkan belajar dari pengalaman. Tapi, apakah AI telah mendekati kecerdasan otak manusia?
Otak manusia terdiri dari sekitar 86 miliar neuron, yang merupakan sel saraf utama dalam sistem saraf. Neuron-neuron ini saling terhubung melalui sinapsis, membentuk jaringan yang kompleks untuk mengirimkan dan memproses informasi.
Saat kita berpikir, merasakan sesuatu, atau bergerak, neuron-neuron ini berkomunikasi menggunakan sinyal listrik dan kimiawi. Sinyal ini bergerak melintasi jaringan saraf dalam hitungan milidetik, memungkinkan kita merespons lingkungan dengan cepat.
Melalui pola koneksi yang dinamis ini, otak dapat belajar, mengingat, dan mengambil keputusan. Pola ini yang menginspirasi perkembangan jaringan saraf tiruan (neural networks) dalam kecerdasan buatan.
Baik otak manusia maupun kecerdasan buatan memiliki pola kerja yang mirip dalam memproses informasi. Neuron biologis di otak menerima enter melalui dendrit, yang kemudian diproses di dalam badan sel sebelum dikirimkan ke neuron lain melalui akson. Proses ini memungkinkan otak untuk memahami rangsangan dari lingkungan dan meresponsnya dengan tepat.
Di sisi lain, neural community dalam kecerdasan buatan bekerja dengan cara yang hampir serupa. Setiap “neuron buatan” menerima enter berupa knowledge, kemudian dikalikan dengan bobot (weights) dan dijumlahkan. Proses ini lalu melewati fungsi aktivasi yang menentukan apakah informasi tersebut akan diteruskan ke lapisan berikutnya. Dengan cara ini, AI dapat mengenali pola, mengklasifikasikan knowledge, dan membuat keputusan seperti yang dilakukan otak manusia.
Baik dalam otak maupun AI, tidak ada pemahaman tanpa adanya enter. Jika otak tidak menerima rangsangan, maka ia tidak bisa berpikir atau merespons. Begitu pula dengan AI — tanpa knowledge, mannequin tidak bisa belajar atau menghasilkan sesuatu yang bermakna.
Namun, ada satu perbedaan besar. Otak manusia memiliki fleksibilitas luar biasa, mampu belajar dari sedikit informasi dan beradaptasi dengan cepat. Sementara itu, AI masih bergantung pada jumlah knowledge yang besar untuk mencapai tingkat pemahaman yang serupa. Inilah tantangan utama dalam mengembangkan mesin yang benar-benar dapat “berpikir” seperti manusia. Lalu, apakah AI sudah mampu melampaui kecerdasan otak manusia?
“AI suatu hari nanti dapat mengembangkan bentuk kecerdasannya sendiri yang dapat melampaui kecerdasan manusia dan pada akhirnya menimbulkan ancaman bagi masa depan umat manusia sudah sangat umum dan sering muncul”– Dr Mhairi Aitken, Peneliti Etika, Alan Turing Institute